UNSUR INTRINSTIK DAN EKSTRINSTIK KARYA SASTRA FIKSI
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Sastra
Pengampu :
Danang Try Purnomo, S.S., M.Hum.
Disusun Oleh :
Bunga Febriana Nurwiyanti
153151056
TADRIS BAHASA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2015
PENDAHULUAN
Fiksi adalah sebuah Prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, sesama, lingkungan, dan interaksi dengan Tuhan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Meskipun fiksi sebagai cerita rekaan atau khayalan, tetapi di dalamnya dibalut dengan suatu keadaan yang dapat dikatakan nyata. Karangan fiksi berusaha menghidupkan perasaan atau menggugah emosi pembacanya. Itulah sebabnya, tulisan ini lebih dipengaruhi oleh subjektifitas pengarangnya.
Kebenaran dalam sebuah dunia fiksi adalah keyakinan yang sesuai dengan pandangan pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan. Kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata. Misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama, logika, dan sebagainya. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi bahkan dapat terjadi di dunia nyata dan benar di dunia fiksi. Misalnya seorang perempuan yang membunuh seorang laki-laki yang memperkosanya tetapi ia dinyatakan bebas dan tidak bersalah atas kasus menghilangkannya nyawa seseorang-menurut hukum dunia nyata ia harus tetap di hukum.
Sebuah karya sastra haruslah memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Sesuai dengan artinya, Struktur adalah pengaturan unsur atau bagian suatu benda. Maka saya akan mengaitkan antar unsur dalam karya tersebut demi mendapatkan pesan dari novel tersebut. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika membaca sebuah karya sastra. Unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri, tetapi mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.
Sesuai dengan artinya, Struktur adalah pengaturan unsur atau bagian suatu benda. Maka saya akan mengaitkan antar unsur dalam karya tersebut demi mendapatkan pesan dari novel tersebut. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika membaca sebuah karya sastra. Unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri, tetapi mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.
Walaupun ada sebagian karya fiksi yang berdasarkan pada kisah nyata (base on true story), namun ketika karya tersebut telah dirangkai dan dibumbui dengan imajinasi pengarang, maka karangan tersebut tidak lagi disebut sebagai sejarah atau sebuah fakta, melainkan berganti menjadi fiksi. Sebaliknya, ketika fiksi telah berdasarkan fakta secara keseluruhan, maka karya tersebutn tidak lagi berbentuk fiksi, melainkan sebuah sejarah. Kebenaran fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang. Kebenaran yang diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Sejarah akan tetap berbentuk sejarah, jika nama, tempat, dan tanggal tidak berubah sedikitpun dari kenyataan yang ada. Namun jika ada yang berubah sedikit saja, maka itu adalah karya fiksi.
DIA TANPA AKU
Novel yang berjudul Dia Tanpa Aku karya Esti Kinasih yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama kota Jakarta pada bulan Januari 2008 adalah novel keempat Esti Kinasih setelah novel “Fairish” tahun 2004 yang menjadi novel teenlit yang paling banyak di baca dan penjualannya menembus angka 10.000 copy, berikutnya novel yang berjudul “Cewek!!!” tahun 2005 yang juga laris manis dalam penjualannya, dan novel “Still” tahun 2006 yang merupakan sekuel cewek. Cewek yang punya prinsip hidup easy going ini tetap terobsesi mendaki puncak Himalaya. Selanjutnya barulah novel “Dia Tanpa Aku” tahun 2008 tentang cinta yang belum sempat tersampaikan langsung oleh seorang cowok kelas 2 SMA bernama Ronald kepada cewek kelas 3 SMP bernama Citra karena kematian datang sebelum Ronald bertemu dengan Citra. Karya Esti Kinasih selanjutnya yaitu novel yang berjudul “Jingga Dan Senja” tahun 2010 ceritanya berlanjut ke novel “Jingga Dalam Elegi” tahun 2011 dan berlanjut lagi ke novel “Jingga Untuk Matahari”
Esti Kinasih lahir di Jakarta, 9 September 1971, anak sulung dari tiga bersaudara. Cewek Virgo ini mempunyai hobi menulis, jalan-jalan, naik gunung, mengoleksi baju kaos bergambar Jeep dan mengoleksi perangko.
A. SINOPSIS
Ronald cowok kelas 2 SMA sudah lama naksir Citra yang masih kelas 3 SMP, tapi Ronald belum mau PDKT. Ronald mau menunggu Citra masuk SMA, maka dari itu hampir setiap hari setelah pulang sekolah ia selalu nongkrong di sekolah Citra untuk mengamati Citra dari kejauhan. Segala informasi-informasi seputar Citra seperti hobi, makanan yang disukai, warna favorit, mata pelajaran yang disukai, cita-cita dll bahkan foto Citra tersimpan di buku catatannya. Setiap hari Ronald selalu membacakan catatannya kepada Andika sahabatnya, hingga Andika pun bosan mendengarnya.
Suatu hari Ronald mengajak Andika ke sekolah Citra karena rasa penasaran Andika dengan gebetan sahabatnya itu. Sepulang sekolah Ronald dan Andika bergegas ke sekolah Citra untuk menyaksikan secara live sosok Citra. Citra pun keluar dari gerbang sekolahnya dengan rambut yang di ikat ekor kuda dengan ikatan yang acak-acakan, tapi Ronald menyukainya. Keisengan Citra lah yang mempertemukannya dengan Ronald, tapi hanya sebatas pertemuan dan Citra tidak sempat berbicara banyak dengan mereka berdua karena bus yang biasa dinaiki citra sudah datang. Perkenalan singkat yang membuat Ronald sangat senang karena diberi waktu untuk menolong Citra dari keisengannya.
Waktunya menyambut Citra di SMA untuk mengungkapkan isi hatinya telah di persiapkannya dengan menabung uang untuk membeli baju kaus dan celana jins biru yang akan ia pakai saat menemui Citra, bahkan ia rela membawa lontong dan bakwan udang ke sekolah untuk di jual kepada teman-temannya. Ronald tidak pernah merasa malu dengan tas di pinggang sambil berpromosi. Semua ini dilakukannya hanya untuk Citra, ia tidak mau hanya karena penampilannya nanti akan menghancurkan harapannya yang telah di pupuknya selama berbulan-bulan. Ronald pun selalu meminta sahabatnya itu membayar makan siangnya. Pokoknya Ronald hanya bisa membayar ongkos bus ke sekolah, selebihnya ngutang deh. Biarpun begitu, Andika selalu berbaik hati menolong Ronald, walaupun uang bulanannya selalu habis sebelum tanggalnya.
Saat yang ditunggu Ronald selama berbulan-bulan akhirnya tiba. Citra masuk SMA, namun Ronald kecewa karena ternyata Citra masuk ke SMA yang sama dengan Reinald [adiknya] dan satu kelas pula. Ronald pun selalu menjaga gerak-gerik adiknya agar tidak menyukai gebetannya itu. Hingga akhirnya Ronald berpesan pada Reinald untuk selalu menjaga Citra, membebaskan Citra dari segala hukuman dan keisengan teman-temannya. Pokoknya secara tidak langsung Ronald menyuruh adiknya menjadi Bodyguard Citra, dan adiknya agak sedikit protes melihat perlakuan abangnya itu.
Tibalah hari pertama kalinya Citra memakai seragam putih abu-abu, dimana pada hari itu juga Ronald akan menemui Citra di rumahnya. Di rumah Ronald mempersiapkan sesuatu yang spesial untuk kerumah Citra di temani oleh sahabat dan adiknya. Penampilannya memakai kaos dan jins biru tentu saja perfect di mata para cewek yang melihatnya. Ronald tersenyum puas saat melihat penampilannya dari cermin, ternyata tidak sia-sia ia menabung untuk kelihatan perfect di mata Citra. Namun keinginan dan harapan Ronald untuk menemui Citra tidak terwujud. Di temani Andika, Ronald pergi ke rumah Citra. Tepat di gang rumah Citra, Andika menyerahkan buket bunga yang masih mekar kepada Ronald. Setelah itu Ronald berbalik dan melangkah, namun seketika semuanya seakan menjadi hitam, kelam dan tenggelam. Ronald tewas ketika terhantam mobil sedan dengan kecepatan maksimum dari arah yang tidak di duga. Buket bunga itu tercampak dan hanya mawar putih yang tergenggam di tangan Ronald. Sesaat sebelum tubuh Ronald menghantam kerasnya aspal jalan, Andika menangkap tubuh sahabatnya dan memeluknya erat. Namun seerat apapun pelukannya, takkan pernah menghalangi kematian sahabatnya itu.
Sejak kematian Ronald, Andika sangat terpukul. Semua lelucon, cerita, tawa menjadi hilang terbawa angin. Andika seperti orang yang baru saja kehilangan separuh dari tubuhnya, bahkan guru lebih sering mendapatinya dalam keadaan melamun. Kematian Ronald diumumkan oleh pihak sekolah Reinald melalui pengeras suara. Namun karena baru satu hari di sekolahnya yang baru, maka hanya segelintir teman yang datang untuk melayat, salah satunya adalah Citra sehingga timbul kebencian di hati Reinald pada Citra. Reinald selalu menganggap kalau Citra lah penyebab kematian abangnya, dan Andika selalu berusaha untuk menyadarkan Reinald dari anggapannya itu.
Dua hari kemudian, Reinald masuk sekolah masih dengan kesedihan dihati kehilangan Ronald. Satu persatu temannya datang untuk mengucapkan belasungkawa termasuk Citra. Kebencian Reinald mulai membara ketika Citra berdiri di hadapannya. Sebelum Citra berbicara, Reinald mengajak Citra untuk datang kerumahnya nanti setelah pulang sekolah. Dengan perasaan berat, Citra menerima ajakannya. Di rumah Reinald mengingatkan Citra kembali pada Ronald dengan menyerahkan foto Ronald, karena sebelumnya Ronald pernah menolong Citra karena keisengannya. Namun Citra sedikit pun tidak mengingat wajah itu. Sebelum Citra pulang, Reinald memberi buket bunga yang sudah layu dan rusak. Citra kembali bingung, lalu Reinald lansung menggandeng tangan cewek itu untuk mengantarnya pulang naik taksi.
Malamnya Reinald menelepon Andika untuk memberi tau mengenai Citra yang sama sekali tidak ingat dengan Ronald. Awalnya emosi Reinald masih normal, tapi karena mengingat Citra yang sama sekali tidak mengetahui wajah itu, Reinald menjadi drop dan emosional. Telepon itu dimatikannya dan dia bergegas masuk kamar danduduk di meja belajar abangnya. Dipandangnya secarik kertas yang berisi semua tentang Citra. Mulai dari tempat tanggal lahir, golongan darah, alamat rumah, hobi, warna favorit, makanan dan minuman favorit, lagu, grup band favorit sampai binatang peliharaan favorit terangkum rapi di kertas itu. Berikut data-data Citra yang lebih spesifik lagi. Namun beberapa saat kemudian, suasana kamar itu seperti kelam disertai aliran air mata Reinald.
Esok harinya di sekolah Reinald menanyakan pertanyaan yang aneh ke Citra, berlaku ke hari-hari berikutnya hingga membuat Citra bingung dan emosi. Kemarahan Citra menjadikannya terjebak duduk satu meja dengan Reinald dan Roni teman sebangku Reinald duduk di tempat duduk Citra sebelumnya, satu meja dengan Loni teman sebangku Citra. Reinald duduk bersama Citra, Ini dilakukannya karena sesuai permintaan abangnya untuk menjaga Citra selalu.
Hari demi hari di lewati Citra di temani Reinald, tidak pernah sedikit pun Citra lepas dari pengetahuaanya. Kadang teman-teman satu kelas mereka juga bingung melihat sikap Reinald dan Citra, bahkan ada yang mengira mereka pacaran. Sebab hampir setiap hari selalu ada perdebatan diantara mereka. Rasa marah dan keinginannya untuk menyalahkan Citra membuat sikapnya terhadap cewek itu menjadi penuh permusuhan. Keduanya kemudian kerap bertengkar tanpa Citra tahu pasti alasan sebenarnya.
Sikap Reinald berubah drastis ketika Citra memutuskan untuk tidak lagi mengacuhkannya.
Sikap Reinald berubah drastis ketika Citra memutuskan untuk tidak lagi mengacuhkannya.
Suatu hari Citra lupa membawa buku cetak Pendidikan Kewarganegaraan. Citra langsung panik, keringat dingin mulai mengucuri tubuhnya. Bu Emi guru Pendidikan Kewarganegaraan terkenal dengan antipati dan kemarahannya kalau ada murid yang tidak membawa buku cetak sewaktu pelajarannya, dia tidak peduli apapun alasannya. Bell masuk berbunyi di susul masuknya Bu Emi ke kelas. Reinald menyodorkan buku cetaknya pada Citra. Sambil memikirkan alasan, Reinald mencoba mencari akal untuk terbebas dari hukuman. Namun cara Reinald tidak berhasil. Reinald tertatih kedepan kelas dan bersiap menerima segala hukuman. Dengan nada keras Bu Emi mengusir Reinald ke luar kelas. Melihat itu, Citra merasa bersalah. Disusul dengan perasaan tak berdosa, Reinald berjalan ke luar kelas. Usai pelajaran itu, Citra menemui Reinald yang sedang bersantai di balkon kelas. Tapi Citra tidak menemukan kesedihan Reinald karena di usir oleh Bu Emi. Sebagai permintaan maaf dan ucapan terimakasih, Citra mentraktir Reinald makan di kantin sekolah.
Kejadian sama kembali dialami Reinald. Kali ini Reinald yang lupa membawa buku cetak Pendidikan Kewarganegaraan bahkan disertai dengan buku catatan dan buku PR. Citra mengusulkan agar Reinald mengaku pada Bu Emi. Reinald langsung membantah. Akhirnya Reinald dipanggil kedepan kelas. Bu Emi tidak lupa bahwa murid yang di hadapinya adalah murid yang sama dengan alasan tidak membawa buku cetak beberapa waktu lalu. Kemarahan Bu Emi tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Dengan satu kalimat yang berisi bahwa Reinald dibebaskan sewaktu pelajarannya selama sebulan. Kalimat singkat itu terdengar buruk di mata Citra dan teman-temannya tetapi tidak dengan Reinald. Reinald merasa hidupnya indah tanpa pelajaran itu.
Hari-hari dihadapi Citra dengan senyuman di temani Reinald. Kini Citra tidak takut keisengannya membuatnya sial, karena ada Reinald yang selalu berada di sampingnya untuk melindunginya dari teman-temman yang marah akibat keisengannya. Namun bayang-bayang Ronald terus mendatangi Reinald. Reinald tak kuat dan tak mampu mengingat peristiwa itu apalagi Citra penyebab utama kematian abangnya. Kadang ada persaan Reinald untuk tidak dekat pada Citra. Tetapi bayang-bayang untuk kemudian hilang dan digantikan dengan pesan Ronald padanya untuk selalu menjaga Citra. Kedua perasaan yang saling berlawanan itu terus menghantuinya. Reinald sering kalut dan gelisah memikirkannya tetapi tak pernah ada jalan untuk dia bisa keluar dari perasaan itu.
Akhirnya Reinald memutuskan agar tidak dekat pada Citra. Mulai dari berangkat sekolah, ke kantin, duduk dan aktivitas lain yang biasa mereka lakukan bersama kini tidak lagi berjalan dengan kebersamaan. Reinald selalu mencari alasan agar dia tidak dekat dengan citra. Hingga Citra merasa bingung dan kesepian. Suasana kelas yang dulu ramai dan penuh dengan tawa, tepuk tangan, senyuman kini terpecah menjadi kesendirian. Teman-temannya juga memperhatikan perubahan Reinald yang besar itu pada Citra. Kadang mereka bertanya pada Reinald atau Citra, namun tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Citra pun tidak berani menunjukkan keisengannya lagi. Karena dia tau, penyelamatnya kini sudah berubah menjadi seseorang yang asing. Sangat asing.
Kesendirian itu tidak berlansung lama saat Reinald menyadari bahwa bukan Citra penyebab kematian abangnya. Suasana yang dulu sempat dirindukan Citra kini kembali terwujud. Suasana yang ceria bersama Reinald. Kini Reinald berada di posisi yang sama seperti Ronald dulu. Perubahan sikap Reinald itu tanpa sadar mendekatkan keduanya, hingga akhirnya Reinald tak lagi ingin menjaga Citra demi almarhum abangnya.
“Gue suka cewek lo,” ucap Reinald suatu hari di depan foto Ronald. Dan itu membuat sang kakak kemudian “kembali”!
“Gue suka cewek lo,” ucap Reinald suatu hari di depan foto Ronald. Dan itu membuat sang kakak kemudian “kembali”!
Suatu saat, Reinald mengajak Citra ke rumahnya untuk belajar bahasa inggris karena ada ulangan selain itu juda Reinald tau kalau bahasa inggrisnya citra itu parah banget. Citra datang ke rumah Reinald sambil menggenggam buku bahasa inggris. Ternyata bukan Cuma mereka berdua di rumah melainkan ada Andika juga. Citra dan Andika duduk di ruang tamu, kemudian Reinald datang membawa nampan dengan gelas berisi lemon tea. Dengan posisi duduk bersila menghadap meja belajar yang rendah dengan membuka buku bahasa inggris yang sudah terbuka. Tapi sebelumnya Citra menyuruh Reinald menyetel radio, karena Citra suka belajar sambil mendengarkan radio. Dengan malas Reinald meminjam radio ke kamar Bi Minah, pembantunya.
Sekembalinya Reinald, Citra masih dalam posisi bersantai tanpa menoleh sedikit pun ke buku. Reinald mulai memutar-mutar turning. Tiba-tiba gerakan tangannya berhenti. Samar-samar di dengarnya lagu Gleen-Dewi yaitu lagu kesukaan abangnya. Di besarkannya volume radio itu walaupun Citra mengeluh dan ingin menukarnya. Namun Reinald tak meresponnya. Ketika lagu itu berakhir, suara sang penyiar cewek lansung membuka pembicaraan. Dia memberi tau bahwa ada tamu di studionya yang di undang atas permintaan pendengar. Dan selama setengah jam kedepan, tamu itu akan menceritakan tentang kisah pahitnya. Mendengar itu, Reinald dan Andika seperti dihantam dengan keras dan tersentak sesaat tubuhnya diam menegang. Apalagi ketika sang tamu mulai mengeluarkan kata demi kata. Suara itu seperti tidak asing di telinga Reinald. Suara itu persis dengan suara almarhum abangnya. Suara itu membekukan aliran darah Reinald dan Andika. Merenggut setengah kesadaran mereka. Namun mereka tau kalau orang yang sudah meninggal itu tidak mungkin hadir kembali ke dunia. Tetapi kini yang sedang berada di studio adalah seseorang yang persis dengan almarhum abangnya. Sang tamu itu mulai menceritakan kisah cinta pertamanya yang tidak pernah terwujud dan juga bercerita tentang adik lelakinya. Dia memiliki gebetan bernama Devi bukan Citra. tetapi Nama lengkap Citra adalah Citra Devi. Semua yang di ucapkan sang tamu itu persis sama dengan kehidupan Ronald. Sesaat setelah cerita itu berakhir, Samar-samar terdengar lagu yang sama ketika di awal perjumpaan tadi disusul dengan suara sang penyiar yang mengatakan siapapun yang ingin berinteraksi langsung dengan sang tamu, ada satu nomor telepon yang bisa dihubungi.
Citra meminjam hp Andika, kemudian menekan tombol hp sesuai dengan nomor yang telah disebutkan. Reinald tak beraksi, masih pucat pasi menyaksikan hal aneh itu. Di deringan pertama, sang tamu langsung menjawab telepon dari Citra. Mereka berbicara sangat akrab. Ketegangan Reinald bertambah saat Citra memberi hp nya pada Reinald dari perintah sang tamu. Awalnya Citra bingung tapi akhirnya rasa bingung itu sirna. Di telepon sang tamu berpesan agar selalu menjaga Citra, dia menitipkan Citra kepada Reinald, dia memberikan cintanya kepada Reinald dan sang tamu juga bilang bahwa dia sayang dengan Reinald. Kata-kata itu jelas berarti bahwa tamu itu adalah Ronald, almarhum abangnya. Hp nyaris jatuh ke lantai kalau Andika tidak buru-buru menangkapnya. Sang tamu mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal kepada Andika, kemudian menutup teleponnya. Telepon itupun langsung terputus, acara di radio itu berakhir. Kembali lagu yang sama di putar, kemudian hening. Reinald dan Andika tersadar. Keduanya mengguncang-guncang radio itu. Mereka periksa kabel. Masih bagus. Namun stasiun radio itu menghilang. Keduanya langsung teringat nomor telepon tadi. Namun hasilnya sama. Nomor tersebut belum terpasang. Seketika Reinald menangis tanpa suara. Andika duduk pucat. Sementara Citra menatap bingung keduanya.
Keesokannya Reinald mengajak Citra ke makam abangnya. Reinald menjelaskan semuanya kepada citra. Tapi Citra hanya bisa diam membungkam. Mereka hanya bisa menyampaikan doa bagi seseorang yang kini dipeluk bumi dan tidur dalam diam.
UNSUR-UNSUR INTRINSIK NOVEL
A. Tema
Bertemakan tentang cinta yang belum tersampaikan karena kematian. Judul yang pengarang berikan adalah Dia Tanpa Aku. Dari Judul tersebut, pembaca dapat menarik kesimpulan bahwa isi novel tidak terlepas dari rasa kehilangan, kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran.
B. Penokohan
1. Ronald, mempunyai watak
a. Tidak Mudah Putus Asa
Dalam novel, Ronald berusaha menabung untuk membeli kaos dan celana jins yang mahal untuk ukuran sakunya. Walaupun dia harus makan double porsi makan pagi, makan di kantin sepiring berdua dengan Andika, bawa bekal dari rumah di sangka menjual narkoba di sekolah, jualan bakwan jagung, dsb dia tidak putus asa dan akhirnya bisa membeli kaos dan celana jins.
b. Penyabar
Dari cerita novel, Ronald sabar menunggu Citra masuk SMA dan sabar menunggu kabar dari adiknya kalau Citra sudah pakai seragam putih abu-abu. Walaupun sempat kesal karena kabar tak dari Reinald tak kunjung disampaikan, tapi Ronald tetap sabar dan mencoba tidak marah.
“Sekarang, tauuu!” deru Ronald jengkel. “Malah harusnya tadi pagi. Begitu lo sampe sekolah, begitu lo ngeliat dia, langsung lapor ke gue! Lo nggak tau, gue udah hampir sinting gara-gara nunggini telepon dari lo!”.
Ronald langsung tersentak. “Ya jangan dong, iya deh. Sori…,” buru-buru dia minta maaf dan intonasi suaranya melunak.
2. Andika, mempunyai watak
a. Setia Kawan
Terbukti dalam novel, Andika mau menemani sahabatnya saat susah maupun senang. Saat susah ketika mereka berdua harus menghemat uang saku dan berjualan bakwan jagung di sekolah. Senang saat Andika setia mengantarkar Ronald beli baju dan pergi ke rumah Citra.
3. Reinald, mempunyai watak
a. Rela berkorban
“Nih!” Reinald meletakan buku cetak PKN-nya di depan Citra. “Lo pake aja.
b. Pemarah
Reinald meletakan bolpoinnya dengan geram.
“Pagi-Pagi udah bikin fitnah!” Ia menoleh sambil mendesis. Mulai marah. “Kalo tiba-tiba gue marah-marah, mending lo terima. Dengerin aja. Nggak usah nanya macem-macem. Apalagi balik marah-marah!”
“Kok gitu? Enak aja. Mana bisa begitu?”
“Supaya gue nggak tambah marah, tau!” bentak Reinald. Belum belum sudah marah-marah.
Wah!? Citra tercengang.
“Yang namanya marah atau kesel, pasti ada alasannya, tau! Ntar lo keselnya sama orang lain, trus gue yang kena, lagi!”.
“Nggak. Kalo gue marah-marah, udah pasti itu gara-gara elo. Jadi mending terima aja. Jangan tanya-tanya lagi. Jadi gue nggak tambah marah!”
4. Citra, mempunyai watak
a. Iseng / Jail
Baru saja kalimat Ronald selesai, Citra yang tadi berjalan tenang sambil mengobrol dan tertawa-tawa bersama teman-temannya, dengan gerakan tiba-tiba dan tak terduga, melompat ke genangan air hujan di depan trotoar sekolah.
Seketika terdengar jeritan-jeritan keras, bersamaan dengan air kotor bewarna kecoklatan yang memercik ke segala arah. Mendarat di baju seragam, rok, sweater, tas dan semua benda yang berada tepat dijalur cipratannya.
“CITRA! INI BAJU MASIH MAU GUE PAKE SEKALI LAGI BESOK, TAU!”
“CITRA! GUE BISA ABIS DIOMELIN NYOKAP NIH!”
“CITRA! INI SERAGAM BARU BELI!!!”
C. Setting / Latar
1. Setting Tempat
a. Di rumah Ronald
Begitu sampai rumah, Ronald langsung melepas baju seragamnya. Hanya dengan bercelana pendek, cowok itu segera menuju meja makan.
b. Di kelas Ronald
Ronald meletakan ponselnya di meja, lalu memandangi benda itu dengan intensitas tinggi. Seolah-olah benda itu datang jauh dari angkasa luar dan baru diterimanya dari alien tadi malam. Teman-teman sekelas Ronald terheran-heran melihat tingkahnya, dan jadi ikut-ikutan. Bergantian mereka menundukkan kepala rendah-rendah, memperhatikan ponsel cowok itu, sambil mengajukan pertanyaan yang sama.
c. Di kantor Kepala sekolah
“Bapak mau? Enak deh. Coba aja. Pasti bapak setuju kalo saya bilang lontong bikinan pembantu saya ini enak banget. Standar hotel berbintang. Kalo bapak mau pesan juga bisa. Buat di bawa pulang. Misalnya buat arisan istri bapak, gitu?”
Ronald jadi berpromosi. Sama sekali tidak is pedulikan isyarat yang di lemparkan Andika dengan kesal. Malu-maluin aja, dagang lontong sama bakwan di kantor Kepsek!
d. Di kamar Ronald dan Reinald (1 kamar)
Begitu sampai rumah, Reinald langsung mencari Ronald, si pemuja Citra yang membabi buta itu. Ia mendapati kakaknya sedang duduk bersila di tempat tidur. Mukanya tampak kesal.
“Ron, dia satu sekolah sama gue,” lapor Reinald.
“Udah tau!” jawab Ronald ketus.
“Kenapa sih lo? Bi Minah masak kacang panjang lagi?”
Ronald memang benci kacang panjang, dan selalu kesal kalau menemukan sayuran itu di meja makan.
“Kenapa sih dia satu sekolah sama elo? Kenapa nggak masuk sekolah gue?”
Ternyata itu masalahnya!
“Jangan ke gue dong protesnya. Mana gue tau?” ucap Renald sambil melempar tasnya ke kasur Ronald. Sang kakak sontak berteriak kesal.
“Kenapa sih lo kalo ngelempar tas selalu ke kasur gue? Kenapa nggak ke kasur lo sendiri?” tas itu pun melayang dari kasur Ronald. Reinald buru-buru menangkapnya. Sambil tertawa geli diletakkannya tas itu di kasurnya sendiri.
e. Di trotoar samping sekolah
Langkah lelah Reinald yang lambat terhenti ketika didengarnya namanya dipanggil. Surprise, di depannya Ronald sedang duduk di atas motor yang diparkirnya di trotoar samping sekolah.
“Gue jemput elo nih. Kakak yang baik kan gue?” kata Ronald tersenyum lebar. “Dikerjain apa aja lo, sampe lecek banget gitu?”.
“Nggak usah dibahas. Nggak penting,” jawab Reinald malas.
“Citra mana?” kepala Ronald celingukan mencari-cari.
“Nggak tau. Nggak sempet ngurusin dia. Motor siapa nih?”.
“Andika. Baru. Tuker tambah sama yang lama. Tapi tadi Citra masuk, kan?”.
“Ya masuklah. Emangnya kepengin dibantai besok, hari ini nggak masuk? Kayak gitu kok ngomongnya mau jemput gue. Bilang aja mau liat Citra”.
“Ya dua-duanya deh.”
f. Di bangunan lama sekolah Andika
Dengan wajah kaku dan kedua rahang mengeras, ia melangkah keluar kelas, menuju sisa-sisa bangunan lama yang masih berdiri. Andika kemudian memasuki salah satu ruangan.
Dipandanginya ruangan yang dulu pernah menjadi ruang kelas itu. Kini ruangan ini kosong, berdebu, lengang, dan ditinggalkan. Tetapi dulu ruangan ini pasti penuh siswa yang kini sudah bergelar alumni dan entah tersebar di mana saja.
Pasti banyak sekali kenangan di ruangan ini. Milik para alumnus itu. Berapa banyak dari mereka yang pernah tertangkap menyontek di ruangan ini? Berapa banyak yang telah kena marah guru? Berapa banyak yang pernah naksir teman sekelasnya sendiri? Seberapa konyol keisengan-keisengan yang pernah mereka lakukan? Seberapa riuh dan ingar-bingar keributan yang pernah mereka ciptakan?
Dan kenangan yang ditinggalkan Ronald di ruangan ini adalah hari pertama ketika anak itu terpaksa harus membawa bekal makanan ke sekolah. Lontong dan bakwan udang. Yang dikeluarkannya dari dalam tas pinggang sambil berpromosi, bahwa judulnya memang “bakwan”, makanan rakyat, tapi rasa dan kualitasnya standar hotel berbintang.
g. Di teras samping rumah Reinald
Karena rumahnya masih agak rame dengan kedatangan saudara dan para tetangga, Reinald membawa Citra ke teras samping.
“Mau minum apa?” tanyanya. Nada suaranya tetap dingin.
“Apa aja. Nggak usah juga nggak apa-apa,” jawab Citra pelan. Reinald berjalan ke dalam. Tak lama ia muncul dengan segelas sirop dingin dan sebuah foto berbingkai.
“Ini kakak gue, yang meninggal dua hari lalu.” Reinald mengulurkan foto Ronald. Citra menerimanya, lagi-lagi dengan bingung.
“Kejadiannya ternyata di jalan raya di depan gang rumah gue,” ucap Citra pelan. “Gue sama sekali nggak nyangka kalo itu kakak lo. Tetangga-tetangga gue sih banyak yang keluar, ke jalan. Tapi gue nggak berani.”
h. Di Bus Umum
Tidak seperti biasanya, udara pagi Jakarta yang masih sejuk, yang mengalir lewat jendela-jendela bus yang terbuka, memperparah kantuk Ronald.
i. Di jalan raya depan gang rumah Citra
Tidak akan lama….
Semua rasa itu telah menghilangkan konsentrasi dan kewaspadaan Ronald terhadap apa pun di sekelilingnya. Fokus pada tujuan, ia benar-benar tenggelam dalam semua rasa yang telah mengepungnya begitu lama itu.
Tidak dipedulikannya hal lain. Tidak dirasakannya “sesuatu” datang. Tidak juga Andika. Yang masih mengiringi Ronald dengan tatapan mata. Tidak dirasakannya “sesuatu” itu bergerak semakin dekat.
Tidak juga pengemudi sedan itu, yang memanfaatkan kelengangan jalan dengan langsung menambah kecepatan. Sama sekali tidak diduganya bahwa seseorang akan muncul begitu saja dari antara mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan. Seseorang yang sibuk membawa buket bunga besar kemudian menyeberang tanpa menoleh kiri-kanan.
Dan “sesuatu” itu kemudian melakukan tugasnya. Rem berdecit sia-sia!
Semua bisa mendengar kerasnya bunyi hantaman itu. Logam yang beradu dengan daging dan tulang. Hanya beberapa detik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang hanya bisa tersentak. Terkesima. Menatap dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
Tubuh itu rebah. Tanpa sedikit pun suara. Darah mengalir. Buket bunga itu terlepas dari tangan. Terlempar. Menghantam aspal jalan dengan keras. Rebah dan… patah!
Namun satu kuncup tertinggal. Tergenggam erat dalam jemari Ronald. Mawar putih. Warna tanpa warna, hingga segala macam warna yang diinginkan bisa diimpikan.
j. Di kelas Citra dan Reinald (1 kelas)
Begitu sampai kelas, Reinald langsung menghampiri Citra dan duduk di depannya.
“Lo tau nggak kalo kakak gue itu satu-satunya saudara cowok yang gue punya!?” tanyanya, dengan intonasi yang langsung terasa getas.
“Mmm…. iya,” Citra menjawab dengan jeda cukup lama. “Lo udah pernah cerita, waktu gue ke rumah lo itu.”
“Bagus kalo udah tau,” tandas Reinald. Kemudian cowok itu berdiri dan pergi begitu saja. Meninggalkan Citra terbengong-bengong sendirian.
Namun cewek itu segera memaklumi. Reinald baru saja kehilangan kakaknya. Jadi kesimpulan Citra untuk keanehan Reinald tadi… tu cowok masih sedih.
k. Di kamar Citra
Di saat yang sama, di kamarnya, Citra juga sedang duduk dalam diam. Tercenung dalam. Tapi untuknya, tidak ada yang perlu di pikirkan tentang Reinald. Sama sekali. Percuma saja, ia nggak akan dapat jawabannya. Yang ada malah jadi emosi lagi kalau ingat kejadian tadi pagi.
Yang sedang dipikirkan Citra dengan serius saat ini adalah, gimana caranya agar ia bisa nyaman duduk di deretan belakang yang sama sekali nggak ada ceweknya itu. Ditambah sebelahan sama cowok stres yang kayaknya bakalan sakit jiwa beneran. Tapi, sampai matanya meredup, karena kantuk, Citra tidak juga mendapatkan ide.
Udah deh. Liat gimana situasinya aja nanti, putusnya kemudian. Ia bangkit berdiri sambil menguap lebar-lebar sambil menuju. Tempat tidurnya, menjatuhkan diri di sana, dan tak lama kemudian ia jatuh terlelap.
l. Lapangan sekolah Reinald
Kalo ngiket rambut nggak pernah rapi. Asal keiket. Tapi itu malah bikin dia jadi tambah manis. Salah satu poin dalam catatan yang ditinggalkan Ronald, kini ada di depan mata. Menghantam Reinald dangan keras dan membuatnya kembali mengalami perasaan asing itu. Dengan kedua rahang terkatup rapat, Reinald menghampiri Citra yang sedang berada di lapangan voli bersama cewek-cewek sekelas lainnya. Tanpa bicara, ditariknya karet pengikat kucir rambut Citra sampai terlepas sehingga rambut cewek itu terurai. Citra menoleh kaget. Reinald menyambut tatapan kaget itu dengan harapan akan keluarnya protes dari mulut Citra, minimal gerutuan, sehingga ada alasan bagi dirinya untuk terus menyerang cewek itu dengan kata-kata. Namun Citra tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Bukan saja karena cewek itu ingat dengan tekadnya sendiri untuk tidak terpancing, tapi juga karena kaget dengan tindakan Reinald itu.
m. Di kantin sekolah Reinald
“Maaf ya tadi? Maaf banget. Seharusnya tadi biar aja gue ngaku.” ucap Citra begitu sampai di depan Reinald. “Trus, lo nongkrong sendirian di sini selama dua jam pelajaran, ya? Apalagi tadi kepsek lewat. Trus, lo langsung ngumpet, kan?” seru Citra seketika.
“Nggak ada gunanya. Emang nggak ada laporan, apa? Gue dikeluarin dari kelas gini,” ucap Reinald, mendengar itu Citra jadi semakin merasa bersalah. “Bayaran somay sama minum gue deh. Biar tampang lo nggak feeling guelty banget gitu.”
“Oke!” Citra langsung mengangguk. Dia tersenyum dan balik badan. Tak lama dia kembali dengan sepiring somay dan segelas air mineral. “Nih!” Dia sodorkan seplastik kacang kulit ke hadapan Reinald. “Buat iseng sambil nemenin gue makan.”
Kata-kata Citra itu membuat Reinald tercengang. Kebetulan banget! Reinald juga sedang memikirkan alasan untuk menemani Citra makan.
n. Di ruang tamu
Reinald menggeser sofa panjang di belakang Citra sampai menempel di dinding agar tercipta ruang lapang, kemudian cowok itu berjalan ke dalam. Malas menggotong radionya yang besar dari kamar, dipinjamnya radio-tape kecil milik Bi Minah.
o. Di pemakaman
Beberapa saat yang lalu, kuncup mawar diletakkan dengan sangat hati-hati di batu nisan Ronald.
Dan kini, di sisi nisan, Reinald duduk bersila di atas rumput. Kepalanya tertunduk dan kesepuluh jarinya bertaut. Di sebelah kirinya, Citra duduk bersimpuh. Di atas pangkuannya, sebuah amplop cokelat tergenggam di antara kesepuluh jarinya. Amplop itu berisi foto-foto dirinya dan secarik kertas yang pernah ditempelkan Ronald di dinding di atas meja belajarnya.
Reinald mengangkat kepala lalu menoleh ke cewek yang duduk di sebelahnya itu. Sama seperti dirinya, Citra sama sekali tidak mengeluarkan suara.
“Udah?” tanya Reinald lirih.
Citra menoleh. Kedua matanya masih berkabut. Ia mengangguk. “Yuk, pulang.”
Reinald bangkit berdiri. Diulurkannya tangan kirinya. Lembut, ditariknya Citra sampai berdiri.
Keduanya meninggalkan tempat itu dalam diam, namun mereka yakin Tuhan dan alam akan menyampaikan apa yang ternyata tadi tidak sanggup mereka sampaikan selain dengan bahasa diam. Untuk seseorang yang kini dipeluk bumi dan tidur dalam diam.
Untuk Ronald, terima kasih dan seluruh cinta…
2. Setting Waktu
a. waktu subuh
Di luar masih gelap gulita saat mata Ronald mendadak terbuka. Meskipun baru beberapa detik terbangun, kesadarannya langsung pulih.
Akhirnya hari ini tiba juga. Hari akhirnya Citra berseragam SMA!
Kedua mata Ronald berbinar. Senyumnya merekah lebar. Ia melompat bangun. Dilihatnya Reinald masih meringkuk pulas. Ronald segera menghampiri. Kedua tangannya sudah terjulur, siap membangunkan adiknya itu saat matanya tidak sengaja menatap tajam. Masih setengah jam lagi sebelum jam beker itu berdering.
b. Siang hari
Andika jadi menyesal sudah melontarkan kalimat itu, karena sampai satu jam kemudian Citra masih belum juga kelihatan. Sementara panas matahari yang teriknya bisa bikin kulit gosong itu kegarangannya belum juga berkurang. Namun Ronald tetap segar bugar. Tatapannya masih tertuju lurus-lurus ke bangunan sekolah di depannya. Masih penuh semangat dan harapan bisa melihat cewek gebetannya. Sementara di sebelahnya, Andika nyaris kering karena bete dan dehidrasi akut.
c. Malam hari
“Kenapa SMS gue nggak dibales!?” dari seberang langsung terdengar nada tajam.
“Bosen, tau! Isinya sama melulu. Telepon nanyanya itu-itu juga.”
“Citra, denger ya!?” Reinald mendesis dengan nada yang semakin tajam. “Gue kuatir sama elo, Cit. Makanya gue SMS, gue telepon. Kalo lo nggak bales SMS gue, nggak ngangkat telepon, lo bikin gue tambah kuatir.”
“Kan tiap hari lo nganter gue sampe rumah? Kenapa juga lo masih ngirim SMS dan nelepon?”
“Gue cuma nganter, Cit. Nggak nginep. Dan itu kan tadi sore. Sekarang udah mau jam sembilan. Selisih berapa jam tuh? Bisa terjadi banyak hal, tau!”
3. Setting Suasana
a. Ramai dan gaduh
“BUUUU…! BUKU SAYA DIUMPETIN SAMA ANAK-ANAK BELAKANG….!!!!”
Cowok-cowok di deretan paling belakang kontan tercengang, kemudian tertawa gelak-gelak. Seisi kelas ikut tertawa. Semua mata menatap ke arah Toto dengan penuh minat.
“Toto tukang ngadu! Jangan ditemenin!” seru Derry, ikut mengimbangi tingkah Toto yang kayak anak SD.
“BUUUU! KATA DERRY SAYA TUKANG NGADU, TRUS NGGAK BOLEH DITEMENIN!!!” seru Toto lagi.
Seisi kelas tertawa lagi. Tapi tawa mereka kali ini terdengar berbeda. Mata mereka juga memandang Toto dengan sorot berbeda, sedikit menerawang. Bila dipastikan, sebagian besar murid kelas itu jadi ingat waktu zaman-zaman SD dulu. Ngadu ke guru gara-gara buku, bolpoin, atau barang-barang mereka yang lain disembunyikan teman dan nggak ada satu pun yang mengaku telah melakukan.
a. Gelisah
Reinald tersenyum sendiri membayangkan keadaan Ronald saat ini. Dan dugaannya memang tepat. Ronald sedang gelisah. Amat sangat gelisah!
e. Tegang
“Kayaknya gue udah pernah ngomong deh. Kalo gue lagi marah, terima aja. Jangan tanya-tanya apalagi balik marah. Ntar gue jadi tambah marah!” intonasi suara Reinald mulai naik.
“Alasannya!? Orang marah tuh pasti ada alasannya!”
“Nggak perlu alasan kalo udah menyangkut elo!”
“Emang gue kenapa?”
“Karena elo selalu bikin gue pengin marah!”
“Alasannya!? Orang marah tuh pasti ada alasannya, tau!”
“Nggak perlu alasan kalo udah menyangkut elo!”
Balik lagi. Lingkaran setan, kayaknya.
Apaan tuh begitu? Citra menggerutu dalam hati.
“Bukan elo aja, gue juga bisa marah!”
“Gue bisa jadi tukang jagal, Citra!” bentak Reinald.
“Lo kira gue takut sama elo!?” Citra tidak mau kalah, ganti membentak. “Nggak sama sekali!”
Pertengkaran memanas!
f. Sedih
Bangku itu telah kosong.
Sia-sia Andika terus menatap ke ambang pintu. Sahabatnya takkan pernah datang. Sia-sia dia berusaha menipu diri dengan menganggap realita itu adalah bagian dari mimpi. Namun di saat ia terjaga, saat mata itu telah terbuka, mimpi itu tidak berakhir.
Di bangkunya, Andika duduk mematung seperti orang yang tak sadarkan diri. Terjatuh dalam mimpi yang takkan berakhir itu. Mulai hari ini ia akan duduk sendiri. Ronald sudah pergi, takkan pernah bisa ditemukan walaupun betapa keras Andika mencari.
Tinggal dalam kenangan. Hanya dalam ingatan.
Semua tawa dan pertengkaran. Semua lelucon dan keisengan konyol. Semua cerita dan rahasia. Semua dukungan dan pengertian. Sampai kesedihan ini akhirnya hilang. Sampai kekosongan ini berangsur-angsur tersembuhkan.
g. Gembira
Diapit Ronald dan Andika di kiri-kanan, Citra berlari ke arah semula. Mereka berlari secepat dan sehening mungkin. Tapi cewek itu tidak berhasil menahan tawanya. Ditengah napas yang tersengal-sengal, ia tertawa geli.
Sampai di halte, baru ketiganya berhenti berlari. Citra membungkukkan tubuh, antara kehabisan tenaga karena berlari cepat dan sakit perut karena terus tertawa. Setelah napasnya kembali normal, cewek itu menegakkan kembali tubuhnya. Ditatapnya dua cowok asing yang telah menolongnya.
“Makasih, ya.”katanya, dengan senyum geli yang siap berubah jadi tawa. Ronald dan Andika mengangguk hampir bersamaan.
D. Amanat
Dalam Novel ini yang disampaikan penulis kepada pembaca adalah Sebagai berikut :
a. Jangan ragu untuk melakukan sesuatu,jika itu benar.
b. Dalam menjalani,kehidupan jangan menjadi orang pengecut.
c. Hadapi dan selesaikan masalah dengan kepala dingin.
d. Kita tidak boleh putus asa bila gagal dalam melakukan sesuatu.
e. Jangan mudah menyaahkan orang lain
E. Alur / Plot
Alur yang digunakan dalam novel yang berjudul “Dia Tanpa Aku” adalah campuran.
a. Alur Maju
b. Alur Mundur
F. Sudut Pandang
Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Pengarang tidak terlibat dalam cerita, Pengarang menceritakan tokoh-tokohnya.
Nama masing masing tokoh atau menggunakan kata ganti orang ketiga.
Contoh : Ronald, Citra, Ronald, Andika, Roni, Loni, Reina, dll
a. Panas matahari siang ini sebenarnya bisa membuat cucian basah di jemuran kering dalam sekejap. Tapi Andika mengiyakan saja ajakan Ronald untuk melihat Citra. Cewek itu sudah diincar Ronald sejak dua bulan lalu. Sayangnya, Citra masih kelas tiga SMP, jadi Ronald belum mau PDKT. Ia menunggu Citra masuk SMA.
b. Asumsi berikutnya adalah Citra pindah ke bangku Reinald karena dia naksir cowok itu. Tapi sayangnya Reinald sama sekali nggak naksir Citra. Makanya tu cowok jadi galak sama Citra. Citra jadi balik galak juga, karena dia frustasi dan patah hati.
UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK NOVEL
A. Gaya Bahasa
Pada novel ini terdapat beberapa gaya bahasa ,diantaranya :
1. Sarkasme
“Dia yang matiin kakak gue, dan dia nggak dateng!”
2. Personifikasi
Matahari sore sudah ingin berpamitan.
3. Metafora
Butir-butir bening mulai menggenangi matanya.
4. Hiperbola
Nada suaranya tetap dingin.
B. Kebahasaan
Dalam novel ini menggunakan bahasa yang kurang baku . Mungkin ini di sesuaikan dengan cerita dalam novel ini yang menceritakan dunia anak remaja.
C. Penilaian Buku
Novel ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan novel ini adalah dalam penggambaran sesuatu itu diceritakan dengan sangat jelas, sehingga pembaca seakan akan melihatnya sendiri. Sedangkan kekurangannya adalah tidak adanya penjelasan tentang istilah-istilah asing yang terdapat dalam novel tersebut.
-Bunga Febriana Nurwiyanti-