AKU BUKAN BULE
Hari berlalu begitu cepat. Usiaku pun semakin
terkurangi jatahnya. Kebodohan tak lagi mampu kututupi. Kesendirianku tak lagi
dapat kusembunyikan. Keraguan tak lagi temui jalan keluar. Hingga pada akhirnya
kebenaran terungkap. Kecermelangan akal berontak, meronta ingin keluar dan
terpuaskan. Layaknya remaja putri di usia belasan tahun yang penuh rasa ingin
tahu dan penasaran, aku pun mengais-ngais jejak langkah orang-orang di
sekitarku. Demi kutemukannya sebuah jati diri. Who am I? Am I just a stranger?
Am I just a girl? Am I a muslimah? Am I so special? “That’s perfect! It is
Excellent! You’re a good girl, Sofia”
Inilah yang selama ini kutunggu-tunggu. Ungkapan
pujian dan penilaian yang bagus. Sangat bagus malah. Perfectionist. Tapi tetap
saja ada yang hilang dan kurang. Buat apa semua pujian itu? Apa artinya semua
pujian itu? Dapatkah semua pujian itu merubah kehidupanku?
Mendapatkan berkah berupa wujud fisik yang cantik
dan indah bukanlah impianku. Memiliki ayah seorang warga negara asing bukanlah
pintaku pada ibu. Terlahirkan pada musim dingin di tepian kota California juga
bukan rencanaku. Bahkan hingga belasan tahunku kini tak mampu kukenali jati
diriku juga bukan mauku. Sebelumnya tak pernah serumit ini ku pikirkan hidupku.
Hingga tiba waktuku kembali pulang ke Indonesia tiga tahun lalu, aku temukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengusik batinku.
Tidak lama setelah meninggalnya ayah, keputusan
ini ibu anggap yang terbaik setelah tahu betapa bobrokan system (aturan) dan
moral Negara asal ayahku. Duka di lubuk hati tak seberapa jika dibandingkan
duka hidup di negeri perantauan. Sekelumit kalimat inilah yang acap kali ibu
lontarkan kepadaku. Seringkali ibu bercerita tentang ramahnya hidup di alam pedesaan
Indonesia. Tak jarang pula ibu mengenang tentang masa kecilnya di pematang
sawah. Ibu rindu dengan desa dan sawah di Indonesia. Sementara kehidupan di
negara bersumber daya alam miskin seperti Amerika tidak mampu mengobati nyeri
kerinduan ibu. Belum lagi kebiasaan hidup ASAAP (Asal Senang, Asal Ada Pesta)
di negeri ayahku ini semakin membuat ibu cemas dengan perkembangan mental dan
psikologiku.
Berdua kami kembali menata hidup di bumi pertiwi.
Memang sulit pada mulanya tapi untungnya dari kecil ibu mengajakku
berkomunikasi bilingual (bahasa Indonesia-Inggris Amerika). Jadi, little little
sih aku bisa ngomong dengan bahasa Indonesia!
Tak pernah kutemukan ketenangan dalam hidupku.
Meskipun selama ini orangtuaku selalu berusaha keras agar segala kebutuhanku
tercukupi dengan baik. Hingga pada akhirnya aku harus ikut ibu ke Indonesia dan
menemukan jawaban yang selama ini belum pernah kuterima, dari siapa pun dan
apapun. Jawaban atas tanda Tanya besar from my deepest heart; who am I? Untuk
apa hidupku ini? Where will I go after death?
NB : Bukan tulisan saya :)
NB : Bukan tulisan saya :)